Panduan Shalat Gerhana
Shalat gerhana dalam bahasa arab sering disebut dengan istilah khusuf (الخسوف) dan juga kusuf (الكسوف) sekaligus. Secara bahasa, kedua istilah itu sebenarnya punya makna yang sama. Shalat gerhana matahari dan gerhana bulan sama-sama disebut dengan kusuf dan juga khusuf sekaligus. Namun masyhur juga di kalangan ulama penggunaan istilah khusuf untuk gerhana bulan dan kusuf untuk gerhana matahari. (Fiqhul Islam wa Adillatuhu, 2/1421).
Jika seseorang menyaksikan gerhana, hendaklah ia melaksanakan shalat gerhana, sebab di dalam madzhab Syafi’iyyah hukum shalat gerhana adalah sunnah muakkadah. Sebagaimana penjelasan Syaikh Muhammad bin Qashim al-Ghazi asy-Syafi’i. (Fathul Qarib, hlm. 26).
Jika di suatu daerah tidak nampak gerhana, maka tidak ada keharusan melaksanakan shalat gerhana. Karena shalat gerhana ini diharuskan bagi siapa saja yang melihatnya sebagaimana disebutkan dalam hadits:
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ يُخَوِّفُ اللَّهُ بِهِمَا عِبَادَهُ ، وَإِنَّهُمَا لَا يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ مِنْ النَّاسِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهَا شَيْئًا فَصَلُّوا وَادْعُوا اللَّهَ حَتَّى يُكْشَفَ مَا بِكُم
“Sesungguhnya matahari dan bulan itu merupakan dua tanda diantara tanda-tanda kekuasaan Allah. Allah menjadikan keduanya untuk menakut-nakuti hamba-hamba-Nya. Dan sungguh tidaklah keduanya terjadi gerhana karena kematian atau kelahiran seorang manusia pun. Apabila kalian melihat sebagian dari gerhana tersebut, maka sholatlah dan berdo’alah kepada Allah hingga gerhana tersebut hilang dari kalian.” (HR. Bukhari no. 1041, Muslim no. 911).
Apakah Harus Berjamaah di Masjid?
Pelaksanaan shalat gerhana adalah dikerjakan di masjid dan secara berjama’ah. Imam Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan, ”Yang sesuai dengan ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah mengerjakan shalat gerhana di masjid. Seandainya tidak demikian, tentu shalat tersebut lebih tepat dilaksanakan di tanah lapang agar nanti lebih mudah melihat berakhirnya gerhana.” (Fathul Bari, 4/10).
Sedangkan terkait pelaksanaannya haruskah berjama’ah atau boleh dikerjakan sendirian, ada penjelasan menarik dari Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin, “Shalat gerhana secara jama’ah bukanlah syarat. Jika seseorang berada di rumah, dia juga boleh melaksanakan shalat gerhana di rumah. Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam,
فَإِذَا رَأَيْتُمْ فَصَلُّوا
“Jika kalian melihat gerhana tersebut, maka shalatlah.” (HR. Bukhari no. 1043).
Dalam hadits ini, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam tidak mengatakan, ”(Jika kalian melihatnya), shalatlah kalian di masjid.” Oleh karena itu, hal ini menunjukkan bahwa shalat gerhana diperintahkan untuk dikerjakan walaupun seseorang melakukan shalat tersebut sendirian. Namun, tidak diragukan lagi bahwa menunaikan shalat tersebut secara berjama’ah di masjid karena Nabi mengerjakan shalat tersebut di masjid dan mengajak para sahabatnya. Ingatlah, dengan banyaknya jama’ah akan lebih menambah kekhusu’an dan menjadi sebab terijabahnya do’a.” (Syarhul Mumthi’, 2/430).
Sebelum pengerjaan shalat gerhana, dianjurkan untuk menyeru jama’ah dengan panggilan ‘ash sholatu jaami’ah’ dan tidak ada adzan maupun iqomah. Hal ini berdasarkan riwayat dari ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari. Beliau lalu mengutus seseorang untuk memanggil jama’ah dengan ‘ash sholatu jaami’ah’ (mari kita lakukan shalat berjama’ah).
Orang-orang lantas berkumpul. Nabi lalu maju dan bertakbir. Beliau melakukan empat kali ruku’ dan empat kali sujud dalam dua raka’at.” Dalam hadits riwayat Imam Muslim no 901 ini tidak diperintahkan untuk mengumandangkan adzan dan iqomah. Jadi, adzan dan iqomah tidak ada dalam shalat gerhana.
Shalat Gerhana Dengan Bacaan Pendek
Waktu pelaksanaan shalat gerhana adalah mulai ketika gerhana muncul sampai gerhana tersebut hilang. Oleh karena itu, dianjurkan untuk memperpanjang bacaan pada shalat gerhana. Dengan kadar durasi terjadinya gerhana mencukupi untuk melaksanakan shalat dan khutbah.
Seorang imam sunnah memelankan bacaannya saat sholat gerhana matahari dan mengeraskan bacaan saat sholat gerhana bulan. (Fathul Qarib, hlm. 26).
Lantas muncul pertanyaan, “Apakah boleh dibuat dalam versi ringkas?” Dalam artian seseorang membaca Surat Al-Fatihah saja sebanyak empat kali pada dua rakaat tersebut tanpa surat panjang seperti yang dianjurkan? Atau bolehkah mengganti surat panjang itu dengan surat pendek setiap kali selesai membaca Surat Al-Fatihah? Boleh saja. Ini lebih ringkas seperti keterangan Syekh Ibnu Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi dalam I’anatut Thalibin berikut ini.
ولو اقتصر على الفاتحة في كل قيام أجزأه، ولو اقتصر على سور قصار فلا بأس. ومقصود التطويل دوام الصلاة إلى الانجلاء
“Kalau seseorang membatasi diri pada bacaan Surat Al-Fatihah saja, maka itu sudah memadai. Tetapi kalau seseorang membatasi diri pada bacaan surat-surat pendek setelah baca Surat Al-Fatihah, maka itu tidak masalah. Tujuan mencari bacaan panjang adalah mempertahankan shalat dalam kondisi gerhana hingga durasi gerhana bulan selesai,” (I’anatut Thalibin, 1/303).
Selagi gerhana bulan berlangsung, maka kesunahan shalat dua rakaat gerhana tetap berlaku. Sedangkan dua khutbah shalat gerhana bulan boleh tetap berlangsung atau boleh dimulai meski gerhana bulan sudah usai.
Tata Cara Shalat Gerhana
Ringkasnya, tata cara shalat gerhana urutannya sebagai berikut:
- Berniat melaksanakan shalat gerhana.
- Takbiratul ihram yaitu bertakbir sebagaimana shalat biasa.
- Membaca do’a iftiftah dan berta’awudz, kemudian membaca surat Al-Fatihah dan membaca surat yang panjang.
- Ruku’ sambil memanjangkannya.
- Bangkit dari ruku’ (i’tidal) sambil mengucapkan ‘Sami’allahu limanhamidah, rabbana lakal hamdu’.
- Setelah i’tidal ini tidak langsung sujud, namun bangkit kembali dan dilanjutkan dengan membaca surat Al-Fatihah serta surat yang panjang. Berdiri yang kedua ini lebih singkat dari yang pertama.
- Ruku’ kembali (ruku’ kedua) yang panjangnya lebih pendek dari ruku’ sebelumnya.
- Bangkit dari ruku’ (i’tidal).
- Sujud yang panjangnya sebagaimana ruku’, lalu duduk di antara dua sujud kemudian sujud kembali.
- Bangkit dari sujud lalu mengerjakan raka’at kedua sebagaimana raka’at pertama hanya saja bacaan dan gerakan-gerakannya lebih singkat dari sebelumnya.
- Tasyahhud
- Salam
- Setelah itu imam menyampaikan khutbah kepada para jama’ah yang berisi anjuran untuk berdzikir, berdo’a, beristighfar, sedekah, dan membebaskan budak. (Shahih Fiqih Sunnah, 1/438).
Khutbah Shalat Gerhana Sekali atau Dua Kali?
Setelah sholat gerhana matahari dan rembulan, seorang imam dianjurkan melakukan khutbah dua kali seperti dua khutbah sholat Jum’at di dalam rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Di dalam kedua khutbahnya, ia mendorong manusia agar bertaubat dari segala dosa-dosa dan melakukan kebaikan berupa sedekah, memerdekakan budak dan berdzikir serta beristighfar. (Fathul Qarib, hlm. 27).
Terkait khutbah shalat gerhana memang ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Ada yang mengatakan khutbah dilakukan dua kali dan ada yang berpendapat hanya sekali. Pendapat yang mengatakan dua khutbah adalah pendapat mayoritas Syafi’iyyah sebagaimana yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Qashim al-Ghazi di atas.
Sedangkan pendapat yang mengatakan khutbah gerhana hanya satu kali, bersumber dari kitab Syarhul Mumthi’ jilid ke 2, halaman 433. Kitab yang ditulis oleh ulama asal negeri Saudi yaitu Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin. Beliau menyatakan menukil riwayat dari Imam asy-Syafi’i. Akan tetapi penulis belum melacak langsung ke kitab rujukan beliau.
Akan tetapi, karena terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama, maka sikap kita sebagai muslim yang baik adalah bijak menyikapinya. Lapang dada menerima perbedaan ini. Wallahu a’lam.
Komentar Terbaru