Khutbah Jum’at: Empat Kisah Urgensi Ilmu Dalam Al Qur’an
Empat Kisah Urgensi Ilmu Dalam Al Qur’an
Amir Sahidin, M.Ag
Pengajar PPTQ Ibnu Mas’ud, Purbalingga
Khutbah Pertama
Assalam‘alaikum Warahmatullaahi wa barakatuhu
-إِنّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُه
-اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى سيّدنا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن.
-يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
-يَاأَيّهَا الّذِيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا
Kaum Muslimin rahimakumullah
Pertama-tama, marilah kita panjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT dengan nikmat-Nya dan hidayah-Nya kita dapat berkumpul di sini menunaikan shalat jum’at secara berjamaah.
Kedua–kalinya, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan agama yang sempurna kepada umat manusia. Semoga kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang selalu berpegang teguh dengan ajaran Beliau hingga ajal menjemput kita.
Ketiga–kalinya, di sini khatib mewasiatkan kepada diri pribadi dan kepada para jamaah sekalian, untuk senantiasa bertakwa dengan sebenar-benar takwa. Yaitu senantiasa menjalankan perintah-perintah Allah kapan pun dan di mana pun kita berada. Demikian itu karena sebaik-baik bekal kita kelak untuk menuju Allah Ta’ala adalah dengan takwa.
Kaum Muslimin rahimakumullah
Ilmu merupakan kunci kesuksesan seseorang baik di dunia maupun di akhirat. Untuk itulah, ilmu memiliki kedudukan mulia dalam Islam, di mana Islam menyeru kepadanya dan menguatkan urgensi akan hal tersebut (Zaidan, Uṣûl al-Dakwah, 17).
Terkait urgensi ilmu ini, Imam Al-Syafi’i pernah berkata:
طَلَبُ الْعِلْمِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ النَّافِلَةِ، وَقَالَ لَيْسَ بَعْدَ الْفَرَائِضِ أَفْضَلُ مِنْ طَلَبِ الْعِلْم، وَقَالَ مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ
“Mununtut ilmu lebih utama daripada shalat sunnah”. Beliau berkata, “Tidak ada amalan setelah amalan fardhu (wajib) yang lebih utama daripada menuntut ilmu”. Beliau juga berkata, “Barangsiapa yang menginginkan (kebahagiaan) dunia hendaklah dengan ilmu dan barangsiapa yang menginginkan (kebahagiaan) akhirat hendaklah dengan ilmu” (al-Nawawi, Majmû‘ Syarḥ al-Muhadzdzab, 1/20)
Selain itu, Allah sendiri telah banyak menyebutkan kisah-kisah urgensi ilmu dalam Al-Qur’an. Sehingga, pada kesempatan yang mulia ini akan disebutkan kisah urgensi ilmu dalam Al-Qur’an.
Kaum Muslimin rahimakumullah
Dalam Al-Qur’an al-Karim, setidaknya ada empat kisah tentang urgensi ilmu yang ingin khatib sampaikan dalam kesempatan mulia ini, yaitu:
Kisah Pertama: Kisah Perjalanan Nabi Musa Menuntut Ilmu
Kisah perjalanan Nabi Musa ini bermula dari pertanyaan yang dilontarkan salah seorang Bani Isra’il kepada beliau. Pertanyaan tersebut berbunyi, “Siapakah orang yang paling berilmu”, menjawab pertanyaan tersebut Nabi Musa berkata, “Aku”. Mendengar jawaban Musa, Allah pun langsung menegurnya karena tidak menisbatkan ilmu kepada-Nya. Allah juga memberitahukan bahwa ada orang yang memiliki ilmu yang tidak dimiliki oleh Musa.
Mendengar ada orang yang lebih berilmu darinya, Nabi Musa pun bergegas membawa perbekalan dan mengambil seorang pemuda bernama Yusya’ bin Nun untuk membersamai perjalanan menuntut ilmunya. Kisah perjalanan inipun Allah abadikan dalam surat al-Kahfi ayat 60 hingga 82.
Selayaknya suatu perjalanan, Nabi Musa pun mengalami kesuliatan dalam perjalanan tersebut, sehingga Yusya’ bin Nun mengingatkannya untuk beristirahat. Namun Nabi Musa menolak tawaran tersebut, sebagaimana firman Allah:
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِفَتَاهُ لَا أَبْرَحُ حَتَّى أَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ أَوْ أَمْضِيَ حُقُبًا
“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada pembantunya, ‘Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua laut; atau aku akan berjalan (terus sampai) bertahun-tahun” (QS. Al-Kahfi [18]: 60)
Dari sinilah, kisah perjalanan Nabi Musa untuk menuntut ilmu menegaskan fakta penting, bahwa Nabi Musa ialah potret penuntut ilmu yang bersungguh-sungguh dan kisah tersebut menunjukkan tentang urgensi serta keutamaan ilmu itu sendiri.
Bagaimana tidak? (1) Musa adalah seorang nabi dan juga seorang rasul, bahkan termasuk dari rasul ulul azmi, namun hal itu tidak mengurangi semangatnya untuk berburu ilmu baru. (2) Nabi Musa ‘alaiḥissalâm telah menempuh perjalanan dengan jarak yang jauh dan mengalami keletihan dalam mencarinya. (3) Beliau juga memiliki umat yang harus dibimbing dan ditunjukkan ke jalan yang lurus, namun sekalipun demikian, beliau tetap meninggalkan pengajaran terhadap umatnya demi mendapat tambahan ilmu (Al-Sa’di, Taisîr al-Karîm ar-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Manân, 1/182).
Kisah Kedua: Keislaman Tukang Sihir Fir’aun
Kisah berikutnya adalah kisah keislaman tukang sihir Fir’aun. Sebagaimana termaktub dalam surat Thaha ayat 65 hingga 76, yang menceritakan pertarungan sihir mereka melawan mu’jizat Nabi Musa ‘alaihissalam hingga akhirnya mereka bersujud dan mengikrarkan keislamannya seketika itu juga.
Namun, keimanan mereka justru membuat Fir’aun murka dan mengancam akan memotong tangan dan kaki mereka secara tersilang dan menyalib mereka di pelepah kurma. Tapi, ancaman itu dijawab para ahli sihir dengan tenang dan yakin, sebagaimana firman Allah:
قَالُوا لَنْ نُؤْثِرَكَ عَلَى مَا جَاءَنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالَّذِي فَطَرَنَا فَاقْضِ مَا أَنْتَ قَاضٍ إِنَّمَا تَقْضِي هَذِهِ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا
“Mereka (para penyihir) berkata, ‘Kami tidak akan memilih (tunduk) kepadamu atas bukti-bukti nyata (mukjizat), yang telah datang kepada kami dan atas (Allah) yang telah menciptakan kami. Maka putuskanlah yang hendak kamu putuskan. Sesungguhnya kamu hanya dapat memutuskn pada kehidupan di dunia ini” (QS. Thaha [20]: 72)
Dari sini, terlihat jelas perbedaan sikat tukang sihir tersebut, yang awalnya menjadi pembantu-pembatu Fir’aun namun sekarang menentangnya. Lantas apa yang menyebabkan keteguhan mereka tersebut? Jawaban tentang pertanyaan ini adalah ilmu.
Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh para ahli tafsir, salah satunya adalah Imam al-Nasafî, beliau berkata:
وَضَرَّ فِرْعَوْنُ جَهْلَهُ بِهِ وَنَفَعَهُمْ عِلْمُهُمْ بِالسِّحْرِ فَكَيْفَ بِعِلْمِ الشَّرْعِ
“Kejahilan Fir’aun tentang sihir membahayakannya (sehingga tetap berada dalam kekafiran), sedang pengetahuan mereka tentang sihir bermanfaat bagi mereka, maka bagaimana dengan ilmu syar’i?” (Al-Nafasî, Madârik al-Tanzîl wa Haqâiq al-Ta’wîl, 2/375)
Dari penyataan di atas, yang menjadi sebab Fir’aun tetap kafir dan tidak tunduk kepada kebenaran yang dibawa oleh Nabi Musa ialah karena ia tidak tahu-menahu tentang ilmu sihir. Sementara tukang sihir, mereka tahu dan sadar bahwa tongkat Nabi Musa yang menjadi ular besar lalu memakan ‘ular-ular kecil’ mereka bukanlah sihir, tetapi mukjizat. Maka seketika itu pula mereka beriman kepada Rabbnya Musa dan Harun. Yakni, ilmu sihir mereka lah yang menghantarkan mereka kepada hidayah.
Imam al-Nafasî pun memberikan penjelasan lebih menarik dalam pernyataan tersebut, yaitu ungkapan beliau, “Maka bagimana dengan ilmu syar’i?”. Maksudnya, jika ilmu sihir yang dilarang saja bisa menghantarkan pemiliknya kepada jalan keimanan, lantas bagaimana dengan ilmu syar’i?. Tentu ilmu syar’i ini akan membimbing pemiliknya kepada keimanan yang lebih berkualitas.
Kisah Ketiga: Kisah Burung Hud-Hud
Kisah burung ini disebutkan Allah dalam surat al-Naml ayat 20 sampai 28, Sebagaimana termaktub pada ayat-ayat tersebut bahwa kisah burung Hud-hud ini berawal dari inspeksi yang dilakukan oleh Nabi Sulaiman terhadap pasukannya. Namun, ketika pengecekan sekawanan burung, Nabi Sulaiman tidak melihat Hud-hud. Lantas Nabi Sulaiman bertanya: “Mengapa aku tidak melihat Hud-hud, ataukah ia termasuk yang tidak hadir?” (QS. Al-Naml [27]: 20)
Setelah bertanya dan memastikan bahwa Hud-hud tidak ada, Nabi Sulaiman pun bersumpah:
لَأُعَذِّبَنَّهُ عَذَابًا شَدِيدًا أَوْ لَأَذْبَحَنَّهُ أَوْ لَيَأْتِيَنِّي بِسُلْطَانٍ مُّبِينٍ
“Sungguh aku benar-benar akan menyiksanya dengan siksaan yang keras atau benar-benar menyembelihnya kecuali jika benar-benar dia datang kepadaku dengan alasan yang terang” (QS. An-Naml [27]: 21)
Dari pernyataan Nabi Sulaiman di atas, terlihat jelas bagaimana kemarahan dan kemurkaan Nabi Sulaiman kepada Hud-hud. Karena ketiadaan Hud-hud ini merusak kedisiplinan. Jika dibiarkan akan berakibat pada pelanggaran-pelanggaran yang lain. Untuk itu Nabi Sulaiman mengancamnya dengan ancaman yang amat pedih, kecuali jika ia datang dengan membawa alasan yang dapat dipertanggung-jawabkan.
Singkat cerita, burung Hud-hud pun selamat dari ancaman siksaan yang akan diberikan. Lantas apa yang menjadi sebab burung Hud-hud terbebas dari hukuman? Jawabnya jelas, yaitu karena ilmu.
Hal ini ditegaskan oleh perkataan Imam Ibnu Qayyim, “Sungguh Nabi Sulaiman telah mengancam burung Hud-hud dengan siksaan yang amat berat atau menyembelihnya. Namun burung Hud-hud selamat karena ilmu. Kata pengantar yang disebutkan Hud-hud, “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” ini hanya bisa diucapkan karena ilmu. Jika tidak ada kekuatan ilmu, maka Hud-hud yang lemah tidak akan kuasa mengatakan kata-kata seperti ini kepada Nabi Sulaiman.” Ibnu Qayyim, Miftâh Dâr al-Sa’âdah: 1/173)
Kisah Keempat: Kisah Pemindahan Singgasana Ratu Saba’
Kisah ini termaktub pada ayat berikutnya, tepatnya pada surat Saba’ ayat 29 hingga 44. Setelah mendapatkan laporan dari burung Hud-hud tentang keberadaan negeri Saba’ berserta kondisi duniawi dan keagamaan mereka, Nabi Sulaiman langsung merespon cepat berita yang dibawa oleh Hud-hud. Nabi Sulaiman pun mengirim Hud-hud ke negeri Saba’ dengan membawa surat yang ditulisnya.
Tak lama kemudian, Nabi Sulaiman mengadakan sayembara siapakah yang bisa memindahkan singgasana Ratu Saba’ ke hadapannya. Mendengar permintaan tersebut, ada dua orang yang menawarkan kebolehannya. Yang pertama adalah Ifrit dari kalangan jin, dan yang kedua adalah orang yang memiliki ilmu dari Al-Kitab.
Ifrit dari kalangan jin menjelaskan bahwa ia dapat melaksanakan perintah Nabi Sulaiman sebelum ia berdiri dari tempat duduknya. Sedangkan orang yang memiliki ilmu dari Al-Kitab, ia dapat memindahkan singgasana Ratu Saba’ sebelum Nabi Sulaiman mengedipkan matanya. Sehingga orang yang memiliki ilmi dari Al-Kitab inilah yang memenangkan sayembara tersebut.
Oleh karena itu, kisah ini menunjukkan akan urgensi dan keutamaan ilmu. Karena pemindahan yang dilakukan oleh orang yang memiliki ilmu dari Al-Kitab itu lebih cepat daripada yang dilakukan oleh si Ifrit. Tentang hal ini ada penyataan menarik yang disampaikan oleh Imam Ibnu Asyur, beliau berkata, “Kompetisi antara jin Ifrit dan orang yang memiliki ilmu dari Al-Kitab mengindikasikan bahwa sesuatu menjadi mudah diselesaikan dengan hikmah dan ilmu yang tidak bisa dipecahkan dengan kekuatan.” (Ibn Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, 19/271)
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Khutbah Kedua
إِنّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُه. وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ.
أَمَّا بَعْدُ؛
Kaum Muslimin rahimakumullah
Dalam khutbah yang kedua ini, khatib ingin menyimpulkan materi yang telah dijelaskan sebelumnya. Bahwa ilmu merupakan warisan penting para nabi dan Rasul, sehingga ia sangat penting untuk dicari. Selain itu di dalam Al-Qur’an setidaknya ada 4 kisah terkait urgensi ilmu itu sendiri, yaitu (1) Kisah perjalanan Nabi Musa menuntut ilmu; (2) Kisah keislaman tukang sihir Fir’aun; (3) Kisah burung Hud-hud; (4) Kisah pemindahan singgasana Ratu Saba’.
Semoga Allah senantiasa memberi kita kesemangatan dalam menuntut ilmu-ilmu warisan para ulama ini. Demikian khutbah yang dapat kami sampaikan, mari kita tutup dengan berdoa kepada Allah:
-إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَاأَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا.
-اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ وَرَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْ كُلِّ صَحَابَةِ رَسُوْلِ اللهِ أَجْمَعِيْنَ.
-اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ
-اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ باَطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ.
-رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا.
-رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
-سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ. وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Sumber: www.dakwah.id
Link: https://dakwah.id/materi-khutbah-jumat-motivasi-menuntut-ilmu-dalam-al-quran/
Komentar Terbaru