Fikih Zakat Fithri
Zakat fithri atau yang lebih dikenal dengan zakat fitrah, sudah jamak diketahui sebagai penutup rangkaian ibadah bulan Ramadhan. Zakat fithri merupakan kewajiban yang harus dikerjakan setiap muslim ketika ia mempunyai kelebihan dari keperluan keluarganya pada malam dan hari raya Idul Fithri, sebagai tanda syukur kepada Allah karena telah menyelesaikan ibadah puasa.
Hikmah Zakat Fithri
Hikmah disyari’atkannya zakat fithri adalah untuk mencukupi orang miskin agar jangan sampai meminta-minta di hari raya, serta sebagai sarana berbagi suka cita kepada orang miskin supaya mereka pun dapat merasakan kebhagiaan. Hikmah lainnya adalah untuk membersihkan kesalahan orang yang berpuasa akibat kata-kata kotor yang dilakukan selama berpuasa sebulan. (al-Mawsu’ah al-Fiqhiyah, 2/8278 dan Minhaju al-Muslim, hlm. 230).
Dari Ibnu Abbas, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri untuk menyucikan orang yang berpuasa dari senda gurau, kata-kata kotor (keji), dan juga untuk memberi makan orang miskin.” (HR. Abu Daud, no. 1609 dan Ibnu Majah, no. 1827).
Hukum Zakat Fithri
Zakat Fithri adalah shadaqah yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim ketika selesai mengerjakan puasa di bulan Ramadhan. Dalil wajibnya adalah hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata:
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى ، وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri dengan satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum bagi setiap muslim yang merdeka maupun budak, laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun dewasa. Zakat tersebut ditunaikan sebelum orang-orang keluar untuk melaksanakan shalat ‘Id.” (HR. Bukhari, no. 1503 dan Muslim, no. 984).
Siapa yang Wajib Berzakat Fithri?
Zakat fithri wajib ditunaikan oleh setiap muslim yang mempunyai kemampuan. Menurut mayoritas ulama, batasan mampu seseorang adalah ketika ia mempunyai kelebihan makanan bagi dirinya dan yang diberi nafkah olehnya pada malam dan siang hari ‘Ied.
Kepala keluarga wajib membayar zakat fithri orang yang ia tanggung nafkahnya. Menurut Imam Malik, ulama Syafi’iyah dan mayoritas ulama, suami bertanggung jawab terhadap zakat fithri si istri karena istri menjadi tanggungan nafkah suami. (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/59).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan dalam hadits sebelumnya bahwa kewajiban tersebut dikenakan atas semua orang, besar ataupun kecil, laki-laki ataupun perempuan. Akan tetapi untuk anak kecil diwakili oleh walinya dalam mengeluarkan zakat. Ibnu Hajar mengatakan, “Kewajiban zakat dikenakan atas anak kecil, namun perintah tersebut tertuju kepada walinya. Dengan demikian, kewajiban tersebut ditunaikan dari harta anak kecil tersebut. Jika tidak punya, maka menjadi kewajiban yang memberinya nafkah, ini merupakan pendapat jumhur ulama.” (al-Fath, 3/369 dan at-Tamhid, 14/326-328).
Kapan Seseorang Mulai Terkena Kewajiban Zakat Fithri?
Seseorang mulai terkena kewajiban membayar zakat fithri ketika terbenamnya matahari di malam hari raya Idul Fithri. Jika dia mendapati waktu tersebut, maka wajib baginya membayar zakat fithri. Inilah yang menjadi pendapat Imam asy-Syafi’i. (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/58).
Alasannya, karena zakat fithri berkaitan dengan hari fithri; hari tidak lagi berpuasa. Oleh karena itu, zakat ini dinamakan demikian (disandarkan pada kata fitri) sehingga hukumnya juga disandarkan pada waktu fitri tersebut. (Mughni al-Muhtaj, 1/592).
Misalnya, apabila seseorang meninggal satu menit sebelum terbenamnya matahari pada malam hari raya, maka wajib dikeluarkan zakat fithri baginya. Namun, jika ia meninggal satu menit setelah terbenamnya matahari maka tidak wajib bagi pihak keluarga untuk mengeluarkan zakat fithrinya. Begitu juga apabila ada bayi yang lahir setelah tenggelamnya matahari maka tidak wajib dikeluarkan zakat fithri atasnya. Namun, jika bayi itu terlahir sebelum matahari terbenam, maka zakat fitri wajib untuk dikeluarkan darinya. (Kifayatu al-Akhyar, hlm. 193).
Bentuk Zakat Fithri
Zakat fithri adalah berupa makanan pokok seperti kurma, gandum atau beras. Inilah pendapat mayoritas ulama. Namun ulama Hanabilah berbeda pendapat, mereka membatasi bentuk zakat fithri hanya yang tertera pada dalil (yaitu kurma dan gandum). Pendapat yang lebih tepat adalah pendapat pertama, tidak dibatasi hanya pada yang tertera pada dalil (namun disesuaikan dengan makanan pokok masing-masing daerah). (Shahih Fiqh Sunnah, 2/82).
Bolehkah Zakat Fithri Dengan Uang?
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hal ini. Berikut penjelasan secara rincinya:
Pertama, pendapat yang melarangnya. Ibnu Qudamah mengatakan, “Madzhab Imam Ahmad tidak memperbolehkan mengeluarkan zakat fithri dengan uang.” (al-Mughni, 4/295). Pendapat ini pula yang dipilih oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, dan Syaikh Shalih al-Fauzan. (Fatawa Ramadhan, 2/918-928).
Dalam fatwa yang lain, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz menjelaskan, “Telah kita ketahui bahwa ketika pensyari’atan zakat fithri sudah ada mata uang dinar dan dirham di tengah kaum muslimin. Namun, Nabi tidak menyebutkan kedua mata uang ini dalam zakat fithri. Seandainya mata uang dianggap sah dalam membayar zakat fithri, tentu beliau akan menjelaskannya.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 14/208-211).
Kedua, pendapat yang membolehkan penunaian zakat fithri menggunakan uang yang senilai dengan apa yang wajib ia keluarkan dari zakatnya, dan tidak ada bedanya antara keduanya. Ini adalah pendapat Abu Hanifah. (al-Mughni, 4/295, al-Majmu’, 5/402, Badai’u ash-Shana’i, 2/205 dan Tamamu al-Minnah, hlm. 379).
Pendapat pertama merupakan pendapat yang lebih kuat.
Oleh karena itu, bila seorang muzakki (yang mengeluarkan zakat) memberi uang pada amil, maka amil diperbolehkan menerimanya jika posisinya sebagai wakil dari muzakki. Selanjutnya, amil tersebut membelikan beras untuk muzakki dan menyalurkannya kepada fakir miskin dalam bentuk beras, bukan uang.
Akan tetapi, pendapat yang membolehkan pembayaran Zakat Fitri dengan uang pun tidak bisa dikesampingkan. Terlebih banyak ulama-ulama kontemporer yang memperbolehkannya dengan alasan lebih maslahat.
Ukuran Zakat Fitrah
Dalam sebuah hadits dari Abu Said al-Khudri radliallahu ‘anhu, beliau berkata:
كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ
“Dahulu kami menunaikan zakat fithri dengan satu sha’ bahan makanan, atau satu sha’ gandum, atau satu sha’ kurma, atau satu sha’ keju atau stu sha’ anggur.” (HR. Bukhari, no. 1506 dan Muslim, no. 2330).
Sha’ adalah ukuran takaran bukan timbangan. Ukuran takaran ‘sha’ yang berlaku di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sha’ masyarakat Madinah. Mengingat sha’ adalah ukuran takaran, umumnya ukuran ini sulit untuk disetarakan (dikonversi) ke dalam ukuran berat, karena nilai berat satu sha’ itu berbeda-beda, tergantung berat jenis benda yang ditakar. Satu sha’ tepung memiliki berat yang tidak sama dengan berat satu sha’ beras. Oleh karena itu, yang ideal, ukuran zakat fitri itu berdasarkan takaran bukan berdasarkan timbangan.
Hanya saja, alhamdulillah, melalui kajian para ulama, Allah memudahkan kita untuk menemukan titik terang masalah ukuran ini. Para ulama (Lajnah Daimah, no. fatwa: 12572) telah melakukan penelitian bahwa satu sha’ untuk beras dan gandum beratnya kurang lebih 3 kg. Pada prinsipnya, lebih baik dilebihkan dari pada kurang, karena jika lebih, kelebihannya terhitung sedekah.
Waktu Pengeluaran Zakat Fithri
Perlu diketahui bahwa waktu pembayaran zakat fithri ada dua macam:
Pertama, waktu afdhol (waktu utama), yaitu mulai dari terbit fajar pada hari ‘Idul Fithri hingga mendekati waktu pelaksanaan shalat ‘Ied. Dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Barangsiapa yang menunaikan zakat fithri sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah.” (HR. Abu Daud, no. 1609 dan Ibnu Majah, no. 1827).
Kedua, waktu yang dibolehkan, yaitu satu atau dua hari sebelum ‘Ied. Sebagaimana dalam sebuah hadits, “Ibnu Umar pernah memberikan zakat fithri kepada orang-orang yang berhak menerimanya dan dia mengeluarkan zakatnya sehari atau dua hari sebelum hari Raya ‘Idul Fithri.” (HR. Bukhari, no. 1511). Di dalam al-Muwatho’, no. 629 (1/285), juga disebutkan bahwa Ibnu Umar pernah membayar zakat fithri tiga hari sebelum ‘Idul Fithri.
Sebagian ulama berpendapat bahwa zakat fithri boleh ditunaikan sejak awal Ramadhan. Ada pula yang berpendapat boleh ditunaikan satu atau dua tahun sebelumnya. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 2/8284 dan al-Mughni, 5/494). Namun pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini, dikarenakan zakat fithri berkaitan dengan waktu fithri (Idul Fithri), maka tidak semestinya ditunaikan jauh-jauh hari sebelum Idul Fithri. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa zakat fithri ditunaikan untuk memenuhi kebutuhan orang miskin agar mereka bisa bersuka ria di hari fithri. Jika ingin ditunaikan lebih awal, maka sebaiknya ditunaikan dua atau tiga hari sebelum hari ‘Ied.
Ibnu Qudamah al-Maqdisi mengatakan, “Seandainya zakat fithri jauh-jauh hari sebelum ‘Idul Fithri telah diserahkan, maka hal ini tidak mencapai maksud disyari’atkannya zakat fithri yaitu untuk memenuhi kebutuhan si miskin di hari ‘Ied. Perlu diingat bahwa sebab diwajibkannya zakat fithri adalah hari fithri; hari tidak lagi berpuasa. Sehingga zakat ini pun disebut zakat fithri. Karena maksud zakat fithri adalah untuk mencukupi si miskin di waktu yang khusus (yaitu hari fithri), maka tidak boleh didahulukan jauh hari sebelum waktunya.” (al-Mughni, 4/301).
Komentar Terbaru