Makalah: I’jaz Ilmi Al-Qur’an dan Pengembangan Sains Islam

I’jaz Ilmi Al-Qur’an dan Pengembangan Sains Islam

Amir Sahidin, M.Ag

(Mahasiswa Doktoral Universitas Darussalam Gontor)

Abstrak

Diskursus mengenai al-i’jaz al-‘ilmi merupakan isu kontemporer dalam i’jaz al-Qur’an, terlebih jika dikaitkan dengan wacana integrasi sains dan agama. Hal ini sejalan dengan pandangan bahwa al-Qur’an mengandung al-i’jaz al-‘ilmi, sehingga ia memberikan motivasi dan petunjuk untuk pengembangan sains. Namun demikian, kesalahan dalam mengintegrasikan sains dan agama akan melahirkan “pseudosains” atau “sains semu” yang tentu saja tidak saintifik. Bahkan lebih dari itu, seseorang akan dapat terjebak pada “agamaisasi” sains atau “sainisasi” agama yang mengaggap agama dan sains dapat saling mengisi, melengkapi dan mengoreksi. Oleh karenanya, dalam kerangka Filsafat Ilmu dengan penelitian berjenis library research, artikel ini menyajikan kajian tentang kemungkinan dikembangkannya sains berbasis al-Qur’an. Meskipun selama ini sudah berkembang upaya mengakarkan temuan sains pada al-Qur’an, dalam kacamata Filsafat Ilmu, belum tentu ia merupakan sains berbasis al-Qur’an, bahkan boleh jadi itu bukan sains, tetapi sekedar pilihan awam yang memang non-saintifik. Ada pola pengembangan sains yang meskipun berbasis agama, namun tetap bernilai saintifik, terdiri dari tiga lapis basis filosofis, yaitu kerangka teori, paradigma ilmiah, dan basis teologis. Dengan secara hati-hati mengikuti pola ini, pengembangan sains tidak hanya dapat terhindar dari pseudosains, tetapi juga akan melahirkan sains dengan nilai saintifik yang tinggi dalam kerangka al-Qur’an. Kemudian proyek pengembangannya dilakukan dengan kerja institusional-kolektif-kultural.

Kata kunci: al-i’jaz al-‘ilmi, psedosains, paradigma ilmiah, basis teologis

 

PENDAHULUAN

Ide penyatuan agama dengan sains atau pengembangan sains berbasis agama, nyatanya telah sampai pada terkonstruknya bangunan keilmuan (scientific building) berbentuk paradigma ilmiah (scientific paradigm) seperti paradigma Integrasi Interkoneksi, Reintegrasi Keilmuan, Islamisasi Ilmu, dan paradigma lainnya (Muslih, 2016). Dengan sampainya pada tahap ini, diskusi mengenai apa kelebihan dan kekurangan dari masing-masing paradigma tersebut menjadi tidak menarik, kemudian beralih pada signifikansinya dalam melahirkan sains baru yang menempatkan agama sebagai bagian tak terpisahkan dalam bangunan keilmuannya (Muslih, 2017).

Namun harus diakui, hingga saat ini, nyatanya ada banyak nada pesimistis terhadap kemungkinan lahirnya sains baru berbasis agama (Muslih, 2018). Alasan paling sederhana adalah, sains harus secara ketat memenuhi standar dan etika ilmiah, sedangkan agama merupakan ‘medan’ berbuat baik dan benar (Muslih, 2016). Untuk maksud itu, sains mesti dapat terhindar dari subjektivitas ilmuwan dan lebih-lebih intersubjektivitas tradisi dan budaya tertentu. Jika kemudian pengembangan sains harus berbasiskan agama, sudah tentu persoalannya akan jauh lebih rumit, yang paling awal adalah semakin besarnya peluang akan lahirnya “pseudosains” atau “sains semu” yang tentu saja tidak saintifik, namun lebih dari itu, seseorang akan dapat terjebak pada “agamaisasi” sains, atau malah “sainisasi” agama yang mengaggap agama dan sains dapat saling mengisi, melengkapi, mengoreksi, dan saling membenarkan sebab berada pada posisi setara (Muslih, 2018).

Seiring dengan perkembangan tersebut, dalam konteks Islam, al-Qur’an sebagai sumber pokok agama lantas mendapat perhatian secara khusus dalam pola pengembangan sains baru itu. Sebagaimana pandangan yang sudah sedemikian mengakar pada masyarakat Muslim bahwa al-Qur’an adalah sumber pengetahuan, ditambah dengan adanya al-I’jaz al-‘Ilmi, maka seluruh teori sains dan pengembanganny  seakan telah ada dalam al-Qur’an. Maka pertanyaanya, benarkah makna al-I’jaz al-‘Ilmi adalah adanya seluruh teori sains? Apa kaitan al-I’jaz al-‘Ilmi dengan pengembangan sains? Benarkah pengembangan sains itu untuk membuktikan kebenaran al-Qur’an? Bagaimana pengembangan sains berbasis al-Qur’an? Makalah ini akan memberikan jawaban atas beberapa persoalan tersebut

Makna Al-I’jaz Al-‘Ilmi

Al-Qur’an merupakan kalamullah yang berisikan ayat-ayat tanziliyah, mempunyai fungsi utama sebagai petunjuk bagi umat manusia, baik hubungannya dengan Tuhan, manusia, maupun alam raya (Qs. Al-Baqarah: 185). Dengan begitu, al-Qur’an tidak hanya memaparkan masalah-masalah kepercayaan (akidah), hukum (syariah), ataupun pesan-pesan moral (akhlak), tetapi juga di dalamnya terdapat petunjuk memahami rahasia-rahasia alam raya (Al-Qur’an, 2013). Selain itu, ia juga berfungsi untuk menunjukkan ketidakmampuan para penentangnya dan secara otomatis membuktikan kebenaran pembawanya, Nabi Muhammad Saw (Al-Qattan, 1973). Oleh karena itu, dalam beberapa kesempatan al-Qur’an menantang sesiapa yang meragukannya untuk mendatangkan semisal dengan al-Qur’an (Qs. Al-Thur: 38), sepuluh surat semisalnya (Qs. Yunus: 38), dan bahkan satu surat terpendek darinya (Qs. Al-Baqarah: 23). Maka, muncul usaha-usaha untuk menjawab tantangan tersebut seperti Musailamah al-Kadzab dengan surat-surat buatannya, namun tidak satupun dari surat buatannya berhasil menyamai bahasa, kandungan dan keindahan sastra al-Qur’an (Bakri, n.d.). Sehingga kebenaran bahwa ia bukan perkataan manusia menjadi tak terbantahkan, dan inilah yang disebut dengan i‘jaz al-Qur’an.

Kata i’jaz sendiri dalam bahasa Arab, merupakan derivasi dari kata ‘ajaza yang berarti lemah atau tidak mampu (Al-Razi, 1979). Dari akar kata yang sama lahir kata mu’jizah (mukjizat) yang diartikan oleh banyak pakar sebagai sesuatu di luar kebiasaan yang dimiliki para nabi untuk menantang siapa yang tidak mempercayai risalahnya, dan tantangan tersebut tidak dapat dihadapi oleh orang yang ditantang (Al-Fattah, 2000). Maka, nampak betapa al-Qur’an adalah mukjizat teragung sejak dulu, sekarang, akan datang, dan bahkan hari kiamat karena tetapnya tantangan al-Qur’an hingga hari kiamat (Zaidan, 2002). Termasuk dari cakupan luar biasa i’jaz al-Qur’an tersebut adalah al-i’jaz al-‘ilmi atau kemukjizatan ilmiah (Al-‘Awaji, 1427; Al-‘Awfi, 1436; Al-Qattan, 1973).

Menurut Mana’ al-Qattan, al-i’jaz al-‘ilmi bukan terletak pada pencangkupannya akan teori-teori ilmiah yang selalu baru dan berubah serta merupakan hasil usaha manusia dalam penelitian dan pengamatan. Tetapi ia terletak pada dorongannya untuk berfikir dan menggunakan akal. Al-Qur’an mendorong manusia agar memperhatikan dan memikirkan alam. Ia tidak mengebiri aktivitas dan kreatifitas akal dalam memikirkan alam semesta, atau menghalanginya dari penambahan ilmu pengetahuan yang dapat dicapainya (Al-Qattan, 1973). Meskipun demikian, dapat dikatakan bahwa, semua persoalan atau kaidah ilmu pengetahuan yang telah mapan dan meyakinkan, merupakan manifestasi dari pemikiran valid yang dianjurkan al-Qur’an, tidak ada pertentangan sedikit pun dengannya. Ilmu pengetahuan telah maju dan telah banyak pula masalah-masalahnya, namun apa yang tetap dan mapan darinya tidak mungkin bertentangan sedikit pun dengan salah satu ayat al-Qur’an. Maka, ini saja menurut Mana’ al-Qattan sudah merupakan sebuah kemukjizatan (i’jaz) (Al-Qattan, 1973).

Oleh karenanya, al-Qur’an mendorong untuk untuk berfikir dan meneliti segala apa yang ada di alam semesta sebagai sarana untuk beriman kepada Allah (Qs. Ali Imran: 190-191; al-Rum: 8; al-Zariyat: 20-21; al-Ghasyiyah: 17-20). Membangkitkan kesadaran ilmiah untuk memikirkan, memahami dan menggunakan akal (Qs. Al Baqarah: 219; al Hasyr: 21; Yunus: 24; al-Ra’d: 3; al-A’raf: 32; al-An’am: 97, 65, 98). Mengangkat kedudukan seorang Muslim karena ilmu (Qs. Al-Mujadalah: 11). Tidak menyamakan antara orang berilmu dengan orang yang tak berilmu (jahil) (Qs. Al-Zumar: 9). Memerintahkan umat Islam agar meminta nikmat ilmu pengetahuan kepada Tuhannya (Allah) (Qs. Thaha: 114). Demikian juga, Allah juga mengumpulkan ilmu falak, botani, geologi, dan zoologi, serta menjadikan semuanya sebagai pendorong rasa takut pada-Nya (Qs. Fathir: 27-28).

Selain itu, di dalam al-Qur’an terdapat isyarat-isyarat ilmiah yang diungkapkan dalam konteks hidayah. Misalnya, perkawinan tumbuh-tumbuhan, ada zati dan khalti. Zati ialah tumbuh-tumbuhan yang bunganya telah mengandung organ jantan dan betina. Sedangkan khalti ialah tumbuh-tumbuhan yang organ jantannya terpisah dari organ betina, seperti pohon kurma, sehingga perkawinannya melalui perpindahan, dan di antara sarana pemindah tersebut adalah angin (Qs. Al-Hijr: 22). Misalnya lagi, oksigen sangat penting bagi pernafasan manusia, dan ia berkurang pada lapisan-lapisan udara yang tinggi. Semakin tinggi manusia berada di lapisan udara, maka ia merasakan sesak dada dan sulit bernafas (Qs. Al-An’am: 125). Kemudian al-Qur’an juga menjelaskan bahwa ada yang lebih kecil daripada atom (Qs. Yunus: 61), dan lain-lainnya. Isyarat-isyarat ilmiah tersebut yang terdapat dalam al-Qur’an datang dalam konteks petunjuk ilahi atau hidayah ilahiyah, dan akal manusia boleh mengkaji serta memikirkannya. Oleh karenanya, dalam menafsirkan firman Allah, “Mereka bertanya kepadamu (Muhmmad) tentang bulan sabit. Katakanlah, “Itu adalah (petunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) haji” (Qs. Al-Baqarah: 189), Mana’ al-Qattan menerangkan ayat ini diarahkan kepada realita kehidupan praktis mereka, tidak kepada ilmu teoritis semata. Al-Qur’an menceritakan kepada mereka fungsi bulan sabit dalam realita dan bagi kehidupan mereka, tidak membicarakan tentang peredaran falakiyah bulan dan bagaimana proses perjalanannya, padahal hal ini terkandung dalam pertanyaan mereka. Al-Qur’an telah datang dengan membawa sesuatu yang lebih besar dari pengetahuan-pengetahuan yang bersifat parsial; ia tidak datang untuk menjadi kitab ilmu falak, ilmu kimia atau ilmu kedokteran, sebagaimana diupayakan oleh mereka yang terlampau fanatik kepadanya dengan mencari-cari di dalamnya ilmu-ilmu tersebut, atau sebaliknya, seperti perlakuan mereka yang membenci perkara itu dengan mencari-cari di dalam al-Qur’an hal-hal yang bertentangan dengan ilmu-ilmu tersebut (Al-Qattan, 1973).

I’jaz al-‘Ilmi dan Pengembangan Sains

Diskursus mengenai al-i’jaz al-‘ilmi merupakan isu kontemporer dalam i’jaz al-Qur’an, terlebih jika ia dikaitkan dengan wacana integrasi sains dan agama (Islam) (Muslih, 2016). Sebagaimana diketahui, bahwa gagasan untuk mempertemukan sains dengan agama telah berkembang menjadi tawaran pemikiran dan bahkan paradigma keilmuan, seperti Islamisasi Ilmu (Al-Attas, 1978, 1980), Saintifikasi Islam (Kuntowijoyo, 2004), Integrasi Ilmu Berbasis Filsafat Perennial (Nasr, 1970), Integrasi-Interkoneksi Keilmuan (Abdullah, 2002), dan lain-lainnya. Dalam konteks Filsafat Ilmu, tawaran paradigma keilmuan terkait penyatuan agama dan sains, baru mempunyai signifikansi sangat besar, jika berlanjut dengan lahirnya ‘produk’ sains baru berbasis agama, atau “Sains Teistik” sebagai bentuk sains yang bersepadu dengan agama (Muslih, 2016).

Berangkat dari persoalan itu, muncul banyak pemikiran menawarkan model keilmuan dalam mempertemukan al-Qur’an yang merupakan sumber pokok agama Islam dengan sains. Di antara mereka yang paling populer adalah Harun Yahya-isme (Ted Peters, Muzaffar Iqbal, 2002; Zainal A. Bagir (ed.), 2005) dan Bucaillisme (Bucaille, 1992). Kedua model ini bertujuan mencari kesesuaian penemuan ilmiah dengan ayat-ayat al-Qur’an. Akan tetapi, model seperti ini banyak mendapat kritik, lantaran penemuan ilmiah tidak dapat terjamin tidak akan mengalami perubahan di masa berikutnya. Menganggap al-Qur’an sesuai dengan sesuatu yang masih bisa berubah berarti menganggap al-Qur’an juga bisa berubah (Sardar, 1985).

Dalam kerangka berpikir demikian, pemikiran dan karya Agus Mustofa, sarjana nuklir UGM, yang menyusun logika-logika fisika nuklirnya hingga seakan benar-benar merupakan kebenaran al-Qur’an karena setiap logikanya dijustifikasi dengan ayat-ayat al-Qur’an. Dengan mengenyampingkan soal otoritas keilmuan, Agus Mustofa begitu piawai memasuki kawasan al-Qur’an, untuk menyusun logika tafsirnya. Apa yang dilakukan Agus Mustofa adalah meloncati basis keilmuannya, dan abai terhadap khazanah keilmuan Islam atau turats (A. Qusyairi Ismail, 1430). Selain itu, yang terlupakan olehnya adalah perkembangan sains dan filsafat metafisika yang setiap saat bisa saja menghentikan jalan cerita dan logika yang ia susun, sekaligus membuat ayat-ayat al-Qur’an yang digunakan sebagai ‘data penguat’ juga ikut berguguran. Meski demikian, pola Agus Musthofa ini, diikuti oleh penulis pemula dari dosen-dosen UIN Malang dengan beberapa karyanya dalam bidang ilmu alam, seperti fisika, (Abtokhi, 2006) matematika (Abdusysyakir, 2007), kimia, (Diana Candra Dewi, Himmatul Baroroh, 2006) teknik arsitektur, (Putrie, 2009) dan lain-lain.

Demikian pula dari kalangan mufassir, ada Muhammed Ali Hassan al-Hilly yang menulis buku “The Universe and the Holy Quran” (Al-Hilly, 2007). Dalam buku tersebut, diuraikan beberapa ayat al-Qur’an seperti Qs. Al-Baqarah: 29; Hud: 7; Al-Mu’minun: 17; Luqman: 10; al-Mulk: 3, dan lain-lainnya, dari sini Hilly membangun satu skenario tentang penciptaan, sebelum Tuhan menciptakan alam semesta, singgasana-Nya ada di atas air, yaitu uap air di suatu ruang, karena waktu itu tidak ada lapisan-lapisan langit, dan ketika Tuhan menciptakan lapisan-lapisan langit itu secara bertahap, Ia membiarkan singgasana-Nya ditopang di atas langit. Untuk itu al-Hilly menegaskan bahwa ‘langit’ di situ berarti “lapisan-lapisan gas” dan bahwa “(Tuhan) membentuk tujuh lapis langit dari lapisan asap” (Al-Hilly, 2007). Nidhal Guessoum, seorang professor fisika dan astronomi di American University of Sharjah, UEA, dengan karyanya, “Islam’s Quantum Question: Reconciling Muslim Tradition and Modern Science”, terutama bab keenam “Islam and Cosmology”, memberikan ulasan tersendiri terhadap karya al-Hilly ini (Guessoum, 2011). Menurut Guessoum ada beberapa masalah yang disepelekan oleh al-Hilly, pertama pendekatan yang digunakan itu cacat secara ilmiah, sebab pendekatan seperti itu mencoba mengkonstruksi pengetahuan tentang kosmos dari tafsir beberapa ayat, tanpa peduli seberapa banyak ayat yang berbicara, dan apakah ayat tersebut berbicara secara general ataukah spesifik. Kedua, seiring dengan kelemahan atau cacat metodologi itu, maka yang dihasilkan hanyalah berupa sains semu atau pseudosains, yang tidak memenuhi tingkat kebenaran ilmiah. Ketiga, yang paling pokok dari itu semua adalah nyatanya banyak fakta baru temuan sains terkini yang mengoreksi temuan terdahulu yang sudah terlanjur dibenarkan oleh al-Qur’an lewat logika mufassir (al-Hilly) (Guessoum, 2011).

Tidak hanya Nidhal Guessoum, secara umum Mana’ al-Qattan, pakar ‘Ulum al-Qur’an pun merasa heran terhadap kenaifan mereka yang terlalu fanatik pada al-Qur’an. Mereka menambahkan kepadanya apa yang tidak termasuk di dalamnya, membawa kepadanya sesuatu yang tidak dimaksudkan olehnya dan menyimpulkan daripadanya perincian-perincian mengenai ilmu kedokteran, kimia, astronomi dan lain-lain. Seakan-akan dengan usahanya itu mereka telah mengagungkan dan membesarkan al-Qur’an. Padahal hakikan al-Qur’an adalah hakikat final, pasti dan mutlak. Sedang yang dicapai penyelidikan manusia, betapa pun canggih alat-alat yang dipergunakannya, adalah hakikat yang tidak final dan tidak pasti. Sebab hakikat-hakikat tersebut terikat dengan aturan-aturan eksperimentasi, kondisi yang melingkupi, dan seberapa canggih peralatannya. Maka, merupakan kesalahan metodologis berdasarkan metodologi ilmiah manusia itu sendiri menghubungkan hakikat-hakikat final al-Qur’an dengan hakikat-hakikat yang tidak final, yakni segala apa yang dicapai ilmu pengetahuan manusia (Al-Qattan, 1973).

Jika demikian, pertanyaannya lantas bagaimana sebenarnya pengembangan sains berbasis al-Qur’an yang final dan sakral itu? Dalam pandangan filsafat ilmu, penilaian cacat metodologi dan sebutan pseudosains, sebagaimana dikhawatirkan Goessoum dan Mana’ al-Qattan di atas, sebenarnya tidak dapat dengan mudah dijatuhkan. Sebab, belum tentu upaya mengakarkan temuan sains kepada al-Qur’an atau menafsirkan ayat al-Qur’an dengan memanfaatkan temuan sains itu dimaksudkan sebagai aktivitas ilmiah, apalagi kajian model seperti itu, apapun bentuknya, sedikit banyak juga dapat memberikan penjelasan sekaligus menjawab kehausan akan terbukanya misteri tertentu di kehidupan manusia, meskipun pada kalangan tertentu hal itu justru yang jadi masalah utama. Filsafat ilmu tidak gegabah mengatakan khutbah jumat itu tidak ilmiah, meskipun umpamanya nyata-nyata memang tidak ilmiah. Tetapi harus diartikan, itu adalah pilihan non-saintifik, atau bahkan sebagai pilihan awam yang memang boleh diambil. Artinya, itu dilihat bukan sebagai kerja ilmiah yang mengharuskan untuk berbasis filsafat keilmuan yang ketat. Namun, akan lain perlakuannya jika upaya itu dimaksudkan sebagai bagian dari pengembangan sains, mau tidak mau harus dilihat dan mesti lolos dalam patok-patok ilmiah sebagaimana dalam diskursus filsafat ilmu (Muslih, 2017).

Dalam aplikasinya, proses pengembangan ilmu pada rumpun ilmu apapun, ternyata sangat ditentukan oleh landasan filosofis yang mendasarinya, berfungsi memberikan kerangka, mengarahkan, dan menentukan corak dari keilmuan yang dihasilkannya. Landasan filosofis dimaksud adalah kerangka teori (theoretical framework), paradigma keilmuan, dan asumsi dasar. Ketiga hal inilah yang lazim disebut dengan filsafat ilmu, dalam arti, basis filosofis yang mendasari bangunan keilmuan dan aktifitas ilmiah pada umumnya. “kerja” ketiga landasan filosofis ini, memang tidak serta merta bisa ditunjukkan dalam wilayah praktis, namun jelas sangat menentukan ‘corak’ ilmu yang dihasilkan. Dalam sejarah perkembangan ilmu, ketiga hal ini memiliki keterkaitan tidak saja historis, tetapi juga sistematis (Muslih, 2016).

Meskipun ketiga basis keilmuan itu tidak dapat dipisahkan, akan tetapi tetap ada pemilahan yang jelas, antara wilayah teori, paradigma, dan teologis. Dengan pemilahan seperti ini, maka program pengembangan ilmu kondisinya berbeda jauh dengan model Harun Yahya, Bucaillean, Agus Mustofa, Muhammed Ali Hassan al-Hilly yang menjustifikasi temuan teoretis dengan teks keagamaan sehingga mengandung konsekuensi jika temuan teori itu terkoreksi, jatuh atau bahkan gugur, maka teks keagamaan ikut terkoreksi, jatuh dan gugur. Atau bahkan lebih parah dari itu, pengembangan keilmuan dapat terjebak pada “agamanisasi” sains yang menganggap sains sebenar dengan agama, dan sebaliknya, atau terjadi “sainisasi” agama yang menganggap agama sesifat dengan sains, sehingga sains dipertahankan mati-matian dan bahkan naik derajatnya menjadi agama itu sendiri. Maka hal ini tidak akan terjadi pada proyek pengembangan ilmu model metodologi program riset Lakatosian di atas, sebab agama dan sains, menjaga keotonomian integritas dan ketahanannya masing-masing (Holmes Rolston, 1987).

Proyek Pengembangan Sains Berbasis Al-Qur’an

Upaya mengakarkan temuan-temuan ilmiah pada ayat-ayat al-Qur’an, atau sebaliknya, menafsir ayat al-Qur’an dengan teori-teori ilmiah sebenarnya tidak masalah, tetapi mestinya hal itu merupakan kerja institusional-kolektif-kultural. Sehingga, di situ ada kerangka kerja ilmiah yang disepakati bersama, ada kultur ilmiah, ada sistem, dan ada banyak ahli (mufasir dan ilmuwan) (Muslih, 2016). Dengan kata lain, upaya tersebut bukan kerja sepihak ilmuwan, apalagi jika kerja secara pribadi-seorang. Hal yang sama, jika hanya kerja sepihak mufasir, apalagi hanya seorang diri kemudian menafsirkan ayat secara ilmiah dengan teori-teori ilmiah. Keduanya dapat dikatakan pemaksaan terhadap ayat suci al-Qur’an, terkecuali mereka sangat luar biasa dalam menguasai al-Qur’an dan sekaligus teori-teori ilmiah, dan ini hampir mustahil atau sangat sedikit adanya.

Karena itu, setidaknya ada tujuh prinsip dasar sepatutnya diperhatikan dalam mengembangkan sains berbasis al-Qur’an (Al-Qur’an, 2013), yaitu: pertama, memperhatikan arti dan kaidah-kaidah kebahasaan. Maka, tidak sepatunya, misalnya, menafsirakan kata “thairan” pada firman Allah, “Dan Dia turunkan kepada mereka burung (thairan) Ababil yang melempari mereka dengan batu…” (Qs. Al-Fil: 3-4), dengan kuman, seperti dikemukakan oleh Muhammad Abduh dalam Tafsir Juz ‘Amma-nya (Abduh, 1341). Secara bahasa hal itu tidak dimungkinkan, dan maknanya menjadi tidak tepat, sebab akan berarti, “Dan Dia mengirimkan kepada mereka kuman-kuman (thairan) Ababil yang melempari mereka dengan batu…” Kedua, memperhatikan konteks ayat yang ditafsirkan dan sebab ayat-ayat serta surat al-Qur’an. Sehingga, memahami ayat-ayat al-Qur’an harus dilakukan secara komprehensif, tidak parsial. Ketiga, memperhatikan hasil-hasil penafsiran dari Rasulullah selaku pemegang otoritas tertinggi, para sahabat, tabiin, dan para ulama tafsir, terutama menyangkut ayat yang akan dipahami. Selain itu, hendaknya memahami ilmu-ilmu al-Qur’an lainnya, seperti nasih-mansuh, asbab al-nuzul, dan sebagainya. Keempat, tidak mengunakan ayat-ayat yang mengandung isyarat ilmiah untuk menghukumi benar atau salahnya sebuah hasil penemuan ilmiah. Al-Qur’an memiliki fungsi yang jauh lebih besar dari sekedar membenarkan atau menyalahkan teori-teori ilmiah (Al-Qur’an, 2013).

Kelima, meperhatikan kemungkinan satu kata atau ungkapan mengandung sekian makna, kendati kemungkinan makna itu sedikit jauh atau lemah. Al-Gamrawi, seorang pakar tafsir ilmiah al-Qur’an Mesir mengatakan, “Penafsiran al-Qur’an hendaknya tidak terpaku pada satu makna. Selama ungkapan itu mengandung berbagai kemungkianan dan dibenarkan secara bahasa, maka boleh jadi itulah yang dimaksud oleh Tuhan (Allah)” (Al-Ghamrawi, 1973). Keenam. Hendaknya memahami betul segala sesuatu yang menyangkut objek bahasan ayat, termasuk temuan-temuan yang berkaitan dengannya. Ketujuh. Sebagian ulama menyarankan agar tidak menggunakan penemuan-penemuan ilmiah yang masih bersifat teori dan hipotesis, sehingga dapat berubah. Teori tidak lain adalah hasil sebuah “pukul rata” terhadap gejala alam yang terjadi. Begitu pula hipotesis, masih dalam taraf uji coba kebenarannya. Karenanya yang digunakan hanyalah telah mencapai tingkat hakikat kebenaran ilmiah yang tidak bisa ditolak lagi oleh akal manusia. Sebagian ulama lainnya mengatakan, sebagai sebuah penafsiran yang dilakukan berdasar kemampuan manusia, teori dan hipotesis bisa saja digunakan di dalamnya, tetapi dengan keyakinan bahwa kebenaran al-Qur’an bersifat mutlak, sedangkan penafsiran itu relatif, bisa benar dan bisa salah (Al-Qur’an, 2013).

Penyusunan sains berbasiskan al-Qur’an atau tafsir ilmi hendaknya melalui serangkaian kajian yang dilakukan secara kolektif dengan melibatkan para ulama dan ilmuwan. Sebagai contoh real dari kerja institusional-kolektif-kultural, adalah apa yang dilakukan oleh Lembaga Pentashihan Mushaf Al-Qur’an yang mencoba menyusun Tafsir Ilmi. Mereka melalui serangkaian kajian yang dilakukan secara kolektif dengan melibatkan para ulama dan ilmuwan, baik dari Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an sendiri, LIPI, LAPAN, Observatorium Bosscha, dan beberapa perguruan tinggi. Kemudian para ulama, akademisi, dan peneliti yang terlibat dibagi dalam dua tim: Syar‘i dan Kauni. Tim Syar‘i bertugas melakukan kajian dalam perspektif ilmu-ilmu keislaman dan bahasa Arab, sedangkan Tim Kauni melakukan kajian dalam perspektif ilmu pengetahuan (Al-Qur’an, 2013).

Dengan terpenuhinya tujuh syarat di atas, ditambah dengan kerja institusional-kolektif-kultural, maka lahirnya sains berbasis al-Qur’an, menjadi sesuatu yang mungkin. Demikian pula lahirnya sains teistik, seperti Kosmologi Islam, Psikologi Islam, dan seterusnya menjadi mungkin juga. Demikian pula, kemungkinan lahirnya psuedosains akan semakin kecil. Dengan maksud seperti ini, maka proyek pengembangan ilmu berbasis al-Qur’an, mesti dilakukan penuh tanggungjawab dan sangat otoritatif, bukan dengan cara hanya mengambil satu ayat lalu dikembangkan menjadi kegiatan ilmiah, juga bukan dengan cara menjustifikasi teori sebagai temuan dari kerja ilmiahnya dengan ayat al-Qur’an (Muslih, 2017). Melainkan dengan mempertemukan berbagai ayat yang berkaitan dan serupa, sehingga lahir pemahaman yang komprehensif dalam bentuk konsep tertentu. Kemudian dari konsep itu dapat ditentukan proyek pengembangan ilmu jangka panjang. Maka, sudah tentu upaya menemukan pemahaman yang komprehensif itu tidak bisa tidak kecuali mesti melibatkan expert yang otoritatif di bidang kajian al-Qur’an, untuk dikembangkan oleh expert dalam bidang sains.

Penutup

Dari pelbagai pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa isu integrasi agama dan sains, tampaknya ikut memperkaya kajian di bidang studi al-Qur’an. Sebagai sumber pokok agama Islam, al-Qur’an juga menjadi perhatian kajian Filsafat Ilmu dalam kaitannya dengan pola pengembangan sains berbasis agama. Sejalan dengan pandangan ulama dan masyarakat Muslim bahwa al-Qur’an mengandung al-i’jaz al-‘ilmi, sehingga al-Qur’an memberikan motivasi dan petunjuk untuk pengembangan sains. Meskipun pola pengembangan sains itu tidak untuk membuktikan kebenaran al-Qur’an, sebab al-Qur’an tidak ada keraguan di dalamnya. Dengan sangat hati-hati memperhatikan basis filosofis pengembangan sains secara terpilah-pilah, yaitu kerangka teori, paradigma ilmiah, dan basis teologis, lalu melihat ketiganya sebagai satu bangunan utuh, maka pengembangan sains berbasis agama yang saintifik menjadi mungkin. Dengan demikian juga dapat menjawab persoalan pseudosains yang selalu dialamatkan kepada keilmuan berbasis agama, sebagai ilmu palsu, semu, dan tidak ilmiah. Kemudian proyek pengembanan sains berbasis al-Qur’an hendaknya dilakukan dengan kerja institusional-kolektif-kultural.

Daftar Pustaka

Qusyairi Ismail, M. A. A. (1430). Menelaah Pemikiran Agus Mustofa Koreksi Terhadap Serial Buku Diskusi Tasawuf Modern. Pasuruan: Pustaka Sidogiri Pondok Pesantren Sidogiri.

Abduh, M. (1341). Tafsir al-Qur’an al-Karim; Juz ‘Amma. Muntada al-’Aqlaniyyin al-‘Arab.

Abdullah, M. A. (2002). Profil Kompetensi Akademik Lulusan Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Agama Islam dalam Era Masyarakat Berubah. Makalah Tersebut Disampaikan Dalam Pertemuan Dan Konsultasi Direktur Program Pasca Sarjana Perguruan Tinggi Agama Islam, Hotel Setiabudi, Jakarta, 24-25 Nopember.

Abdusysyakir. (2007). Ketika Kyai Mengajar Matematika. Malang: UIN-Maliki Press.

Abtokhi, A. M. & A. (2006). Fisika dan alQur’an. Malang: UIN-Maliki Press.

Al-‘Awaji, A. A. (1427). I’jaz al-Qur’an ‘inda Syaikh al-Islam Ibn Taymiyah. Riyad: Dar al-Manhaj.

Al-‘Awfi, H. A. B. (1436). I’jaz al-Qur’an al-Karim ‘inda Ibn al-Qayyim. Riyad: Universitas King Saud.

Al-Attas, S. M. N. (1978). Islam and Scularism. Kuala Lumpur: Angkatan Muda Bela Islam.

Al-Attas, S. M. N. (1980). The Concept of Education in Islam. Kuala Lumpur: Muslim Youth Movement of Malaysia.

Al-Fattah, S. A. (2000). I’jaz al-Qur’an al-Bayani wa Dalail Mashdaruhu al-Rabbaniy. Amman: Dar Aman.

Al-Ghamrawi, M. A. (1973). Al-Islam fi ‘Ashri al-‘Ilmi. Mathba’ah al-Sa’adah.

Al-Hilly, M. A. H. (2007). The Universe And The Holy Quran, Translated by: E. A. Nassir. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah.

Al-Qattan, M. (1973). Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an. Surabaya: al-Hidayah.

Al-Qur’an, L. P. M. (2013). Tafsir Ilmi; Waktu Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an.

Al-Razi, A. bin F. (1979). Mu’jam Maqayis al-Lughah. Damaskus: Dar al-Fikr.

Bakri, H. bin M. (n.d.). Tarikh al-Khamis fi Ahwal Anfus al-Nafis. Beirut: Dar Shadir.

Bucaille, M. (1992). Bibel Qur’an dan Sains, terj. A. Rasyidi. Jakarta: Bulan Bintang.

Diana Candra Dewi, Himmatul Baroroh, & T. K. A. (2006). Besi, Material Istimewa dalam Al-Qur’an. Malang: UIN-Maliki Press.

Franklin, S. (1995). Science as Culture, Cultures of Science. Annual Review of Anthropology, 24, 163–184.

Guessoum, N. (2011). Islam’s Quantum Question: Reconciling Muslim Tradition and Modern Science.

Holmes Rolston, I. (1987). Science and Religion: A Critical Survey. New York: Random House, Inc.

Kalman, C. (2008). Successful Science ang Engineering Teaching: Theoretical and Learning Perspektives. NJ, USA: Springer, Seacaucus.

Kuntowijoyo. (2004). Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika. Bandung: Teraju.

Lakatos, I. (1970). Criticism and the Growth of Knowledge. New York: Cambridge University Press.

Muslih, M. (2016). Al-Qur’an dan Lahirnya Sains Teistik. Tsaqafah, 12(2), 257–280. Retrieved from https://doi.org/10.21111/tsaqafah.v12i2.756

Muslih, M. (2017). Falsafah Sains. Yogyakarta: Lembaga Studi Islam.

Muslih, M. (2018). Rekonstruksi Nalar Keagamaan; Ikhtiar Menemukan Konteks Agama Bagi Pengembangan Sains. Afkaruna, 14(2), 190–219. Retrieved from https://doi.org/10.18196/aiijis.2018.0087.190-218

Nasr, H. (1970). Science and Civilization in Islam. New York: New Americal Library.

Putrie, A. F. M. & Y. E. (2009). Membaca Konsep Arsitektur Vitruvius dalam Al-Qur’an. Malang: UIN-Maliki Press.

Sardar, Z. (1985). Islamic Futures: The Shapes of Ideas to Come. New York: Mansell.

Ted Peters, Muzaffar Iqbal, S. N. H. (eds. . (2002). God, Life, and the Cosmos, Christian and Islamic Perspectives. Aldershot: Ashgate.

Theodore Schick, Jr., E. (2000). Readings in the Philosophy of Science. Mountain View, CA: Mayfield Publishing Company.

Zaidan, A. K. (2002). Ushul al-Da’wah. Beirut: Muassasah al-Risalah.

Zainal A. Bagir (ed.). (2005). Science and Religion in the Post-colonial World: Interfaith Perspectives. Adelaide: ATF Press.

Diambilkan dari: Prosiding Konferensi Integrasi Interkoneksi Islam dan Sains (KIIIS) Edisi 4, no. 1 (2022)

Link: https://ejournal.uin-suka.ac.id/saintek/kiiis/article/view/3174

Gambar dari: Alif.ID

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *